*flash fiction ini ditulis untuk ikut partisipasi dalam permainan #15HariNgeblogFF day 2 dengan judul "Pagi Kuning Keemasan" :))
Di atas bebatuan granit ini, aku
duduk santai sambil sesekali membidikkan kamera ke arah laut. Airnya yang jernih
serta pantai berpasir putih tak henti-hentinya membuatku berdecak kagum. Langit
pagi berwarna kuning keemasan ini pun seolah menyambut kedatanganku dengan hangatnya. Inilah
keindahan Pulau Lengkuas, di Belitung, yang baru saja aku cicipi beberapa menit
setelah turun dari kapal sewaan.
Sementara tanganku sibuk
memotret, pria di sebelahku yang bernama Leon ini hanya diam saja, tak bersuara.
Leon adalah salah satu wisatawan yang serombongan denganku tadi saat menyewa kapal
dari Tanjung Binga. Matanya tajam. Bibirnya tipis. Rambutnya sedikit gondrong, namun
diikatnya dengan rapi. Hanya ada sedikit pembicaraan di antara kami semenjak
perkenalan tadi di atas kapal. Entah kenapa ia seperti mencoba untuk menutup
diri.
Raut mukanya yang datar,
memunculkan niat usilku. Aku mencoba membidik kamera ke arahnya. Dari samping,
aku memotret dengan fokus pada wajahnya dan dilatarbelakangi semburat langit
pagi. Cklik! One
shoot!
Leon menoleh ke arahku. Sepertinya
ia sadar ada papparazi yang berusaha
mengambil gambarnya.
“Eh kamu ngga foto-foto pemandangan
di sini?” tanyaku mencoba membuat persepsi, seolah-olah barusan aku habis memotret
pemandangan.
“Buat apa?”
“Ya buat kenang-kenangan aja.
Nanti kan pas lagi di Jakarta, bisa inget lagi pemandangan di sini lewat foto.”
“Ingatanku sudah seperti photographic memory. Semua yang terjadi
di sini, pasti aku ingat tanpa harus melihat foto.” jawabnya. Serius sekali.
“Sudah coba foto dari atas mercusuar
sana?” lanjutnya.
“Belum.”
“Ayo kita ke sana. Pemandangannya
bagus.” katanya dengan mantap.
Leon bangkit dari duduknya. Aku
mengikuti Leon menuju mercusuar tua peninggalan Belanda itu. Sesampainya di depan
mercusuar, kami disambut dengan seorang pengawas yang mempersilahkan kami naik
ke atas. Tangga demi tangga kami susuri. Cukup menguras tenaga memang, tapi aku
ingin segera melihat pemandangan dari atas sana. Sesampainya di atas, kami
bertemu dengan salah seorang Bapak pengawas mercusuar lainnya. Leon menyapanya.
“Pagi, Pak. Masih ingat saya?”
ucap Leon sambil tersenyum.
Bapak tersebut tampak berfikir
namun dengan cepat berkata, “Dek Leon ya? Yang tahun lalu dateng ke sini dan
terpaksa nginep di rumah saya karena cuaca buruk kan?”
“Iya betul, Pak.”
“Loh ini istrimu yang waktu itu?
Sepertinya beda ya?” tanya si Bapak berkumis itu, dengan keheranan menatapku.
Hah? Istri? Leon sudah beristri? Aku yang terheran-heran sekarang. Tapi aku
memilih diam sambil mendengarkan percakapan mereka.
“Bukan. Ini teman saya. Kalau istri
saya sudah meninggal, Pak. Tidak lama setelah pulang dari honeymoon di sini..” suara Leon sedikit tercekat.
Istrinya meninggal? Setelah honeymoon? Tidak terbayang bagaimana
rasanya. Pasti Leon sedih bukan main..
Leon dan Bapak berkumis itu terus
berbincang. Sementara aku hanya berbincang dengan diriku sendiri dalam hati. Ada
keperihan yang ku rasa. Namun aku tidak berani banyak berbicara. Takut dikira
mencampuri urusan pribadi Leon. Setelah percakapan mereka selesai, aku dan Leon
berdiri di pinggir pembatas mercusuar. Dari sini, semua pemandangan laut dan
pulau bisa terlihat secara keseluruhan. Indah sekali. Menakjubkan!
“Boleh pinjam kameramu untuk rekam
video? Aku ingin mengutarakan sesuatu lewat video.” ucap Leon serius.
Aku mengangguk sambil menyerahkan
kameraku. Leon kemudian menekan tombol mode on untuk video. Tangannya langsung mengarahkan
lensa kamera ke pemandangan langit, laut, serta pasir yang ada di bawah. Tak lama
ia pun menghadapkan kamera ke arah wajahnya.
“Kayla, hari ini adalah hari
pernikahan kita yang pertama. Kamu di surga sana. Aku di surga Pulau Lengkuas
yang tahun lalu kita datangi ini. Happy anniversary, dear. Love you always.” ucap
Leon sambil tersenyum lalu mengakhiri rekamannya. Matanya mendadak merah. Ya, matanya
berair walau tak sampai tumpah.
“Nanti di Jakarta aku minta
videonya ya.” kata Leon kepadaku.
Aku cuma bisa mengangguk. Sekali
lagi, aku tidak berani banyak bertanya tentang mendiang istrinya. Pasti perih
baginya untuk menceritakan kembali kenangan yang tak pernah bisa kembali.
Di sini, di tempat yang begitu indah
ini, ada pilu yang tersimpan. Sungguh kontras..