Tuesday, June 19, 2012

Just Do It Anyway

Berani, bukan berarti tidak memiliki rasa takut. Berani adalah tetap melangkah, walaupun dihantui rasa takut. Pada akhirnya, kamu akan benar-benar berani..

Kuat, bukan berarti tak pernah jatuh dan menangis. Kuat adalah tetap bangkit, meski berkali-kali jatuh dan merasakan perih. Pada akhirnya, kamu akan benar-benar kuat..

Yakin, bukan berarti tidak pernah ragu. Yakin adalah tetap konsisten berjuang, walaupun sering dilanda keraguan. Pada akhirnya, kamu akan benar-benar yakin tak tergoyahkan..

Ikhlas, bukan berarti tak pernah mempertanyakan kepahitan hidup. Ikhlas adalah terus berupaya melegakan hati. Sekalipun muncul pertanyaan-pertanyaan, kamu menyerahkan jawabannya kepada Tuhan. Hingga pada akhirnya, kamu akan benar-benar ikhlas..

Sabar, bukan berarti tak pernah letih dalam berusaha. Sabar adalah tetap berusaha sekaligus bertahan, meski keletihan itu mengujimu. Pada akhirnya, kamu akan terlatih sabar..

Tulus, bukan berarti tidak mengharap balasan sama sekali. Tulus adalah tetap memberi dan menebar manfaat. Sekalipun rasa pamrih itu datang, kamu hanya berharap kepada Tuhan. Hingga pada akhirnya, kamu akan benar-benar tulus..

Menjadi baik, bukan berarti tidak pernah berbuat salah. Menjadi baik adalah belajar mendewasakan diri dan bertanggung jawab ketika berbuat salah. Dari hal itu, kamu akan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.. 


Semua hal pasti butuh proses. Dan sebaik-baiknya proses menuju kebaikan adalah yang disegerakan sepenuhnya. 




weheartit.com

Sunday, June 17, 2012

Sehangat Serabi Solo


*Cerita flash fiction ini dibuat untuk permainan #15HariNgeblogFF day 6, dengan judul "Sehangat Serabi Solo."


Pasar Klewer, Solo


Kamu lahir dari rahim wanita hebat yang ada di sampingku ini.

“Sing motif Sido Mukti apik-apik yo.” kata Ibumu. Oh bukan Ibumu, tapi Ibu kita.

Tangannya sibuk membentangkan kain-kain batik yang tertata di salah satu kios Pasar Klewer, pusatnya batik di kota Solo. Dengan bahasa Jawa kental, Ibu melakukan tawar menawar dengan sang penjual yang sudah dikenalnya sejak lama. Aku menyimak walau kurang paham bahasanya. Yang ku tangkap, Ibu membeli kain batik dalam jumlah banyak dan corak yang berbeda-beda. Ada saudara di luar kota yang minta dikirimkan batik untuk dijualnya lagi di sana. Kata Ibu, lumayan bisa dapat komisi dari dia.


Kamu dididik oleh wanita yang begitu menyayangimu ini.

“Nduk, buat Bayu kita belikan juga ya. Kemeja lengan pendek atau panjang ya?” tanya Ibu, menanyakan pendapatku tentang kemeja batik yang hendak dipilihkan untukmu.

“Oh.. atau beli yang model sarimbit ini aja ya, Nduk. Jadi sepasang, buat kamu dan Bayu. Bagus ini motifnya. Tuh kamu tambah ayu kan.” kata Ibu lagi, seraya membentangkan baju sarimbit, yaitu jenis batik yang dirancang sepasang untuk laki-laki dan perempuan dengan motif yang sama, seperti kaos couple.

Aku tersenyum mengangguk. Aku percaya pada pilihan Ibu. Ibu paham benar akan batik yang cantik.


Kamu dibesarkan oleh wanita tangguh.

Selesai memborong beberapa kain dan pakaian batik, aku dan Ibu berjalan menyusuri lorong yang berderet kios-kios di sampingnya. Kaki kami pun melangkah menuju emperan toko di bagian luar.

“Ibu dulu berjualan di situ, Nduk.” ucap Ibu sambil menunjuk salah satu bagian emperan pasar.
Sembari berjalan, Ibu bercerita tentang bagaimana dulu beliau berjualan batik dengan modal pas-pasan. Tidak punya kios, hanya berbekal setumpukan kain batik dan terpal yang ia gelar di pinggir emperan serta beberapa helai batik yang ia sampirkan di pundaknya. Dengan berjuang sendiri, beliau berhasil menyekolahkan anak-anaknya -- termasuk kamu -- hingga lulus kuliah. Semuanya persis seperti yang pernah kamu ceritakan. Bedanya, kali ini aku mendengarkan langsung dari Ibu. Aku semakin kagum. Terbesit pertanyaan dalam benakku. Bisakah aku sekuat Ibumu?


Kamu memperlakukan Ibumu, juga aku, bak permaisuri. Manis.

“Itu Mas Bayu udah dateng jemput, Bu.” kataku sesaat setelah melihat mobilmu berhenti tak jauh dari tempat kami berdiri.

Kamu dengan sigap turun dari mobil dan mengambil alih semua kantung plastik belanjaan kami. Kemudian memasukkannya ke dalam mobil satu per satu.

“Ini ada serabi. Tadi beli di depan Masjid Agung. Pasti pada laper kan. Ayo ayo.. dimakan mumpung masih hangat, Bu, Rin.” katamu mempersilahkan kami ketika sudah berada di dalam mobil.

“Nanti nyampe rumah langsung istirahat. Nanti tak pijitin satu-satu kaki dan tangannya ya.” sambungmu lagi sambil menyetir. Kamu memberikan apa yang belum kami minta. Bagaimana aku tidak tersentuh.

Sepanjang perjalanan pulang, pembicaraan kami bertiga terus mengalir. Tentang kota Solo, tentang masa kecilmu, juga tentang bahasa Jawa yang ingin ku pelajari lebih dalam.

Seminggu sudah aku pindah ke kota ini dan merajut kehidupan baru setelah menikah denganmu. Meninggalkan semua gemerlap kota Jakarta serta karirku sebagai manajer di salah satu bank asing. Semua orang di sekeliling, terlebih orangtuaku, menganggap aku bodoh sekaligus meragukan kesungguhanku untuk menetap di sini. Entahlah. Yang ku rasakan sekarang hanya satu. Berada di dekat kamu dan Ibu, aku menemukan kehangatan baru, sehangat serabi Solo yang ku gigit ini.


Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan


*flash fiction ini ditulis untuk ikut partisipasi dalam permainan #15HariNgeblogFF day 2 dengan judul "Pagi Kuning Keemasan" :))





Di atas bebatuan granit ini, aku duduk santai sambil sesekali membidikkan kamera ke arah laut. Airnya yang jernih serta pantai berpasir putih tak henti-hentinya membuatku berdecak kagum. Langit pagi berwarna kuning keemasan ini pun seolah menyambut kedatanganku dengan hangatnya. Inilah keindahan Pulau Lengkuas, di Belitung, yang baru saja aku cicipi beberapa menit setelah turun dari kapal sewaan.

Sementara tanganku sibuk memotret, pria di sebelahku yang bernama Leon ini hanya diam saja, tak bersuara. Leon adalah salah satu wisatawan yang serombongan denganku tadi saat menyewa kapal dari Tanjung Binga. Matanya tajam. Bibirnya tipis. Rambutnya sedikit gondrong, namun diikatnya dengan rapi. Hanya ada sedikit pembicaraan di antara kami semenjak perkenalan tadi di atas kapal. Entah kenapa ia seperti mencoba untuk menutup diri.

Raut mukanya yang datar, memunculkan niat usilku. Aku mencoba membidik kamera ke arahnya. Dari samping, aku memotret dengan fokus pada wajahnya dan dilatarbelakangi semburat langit pagi. Cklik! One shoot!

Leon menoleh ke arahku. Sepertinya ia sadar ada papparazi yang berusaha mengambil gambarnya.

“Eh kamu ngga foto-foto pemandangan di sini?” tanyaku mencoba membuat persepsi, seolah-olah barusan aku habis memotret pemandangan.

“Buat apa?”

“Ya buat kenang-kenangan aja. Nanti kan pas lagi di Jakarta, bisa inget lagi pemandangan di sini lewat foto.”

“Ingatanku sudah seperti photographic memory. Semua yang terjadi di sini, pasti aku ingat tanpa harus melihat foto.” jawabnya. Serius sekali.

“Sudah coba foto dari atas mercusuar sana?” lanjutnya.

“Belum.”

“Ayo kita ke sana. Pemandangannya bagus.” katanya dengan mantap.

Leon bangkit dari duduknya. Aku mengikuti Leon menuju mercusuar tua peninggalan Belanda itu. Sesampainya di depan mercusuar, kami disambut dengan seorang pengawas yang mempersilahkan kami naik ke atas. Tangga demi tangga kami susuri. Cukup menguras tenaga memang, tapi aku ingin segera melihat pemandangan dari atas sana. Sesampainya di atas, kami bertemu dengan salah seorang Bapak pengawas mercusuar lainnya. Leon menyapanya.

“Pagi, Pak. Masih ingat saya?” ucap Leon sambil tersenyum.

Bapak tersebut tampak berfikir namun dengan cepat berkata, “Dek Leon ya? Yang tahun lalu dateng ke sini dan terpaksa nginep di rumah saya karena cuaca buruk kan?”

“Iya betul, Pak.”

“Loh ini istrimu yang waktu itu? Sepertinya beda ya?” tanya si Bapak berkumis itu, dengan keheranan menatapku.

Hah? Istri? Leon sudah beristri?  Aku yang terheran-heran sekarang. Tapi aku memilih diam sambil mendengarkan percakapan mereka.

“Bukan. Ini teman saya. Kalau istri saya sudah meninggal, Pak. Tidak lama setelah pulang dari honeymoon di sini..” suara Leon sedikit tercekat.

Istrinya meninggal? Setelah honeymoon? Tidak terbayang bagaimana rasanya. Pasti Leon sedih bukan main..

Leon dan Bapak berkumis itu terus berbincang. Sementara aku hanya berbincang dengan diriku sendiri dalam hati. Ada keperihan yang ku rasa. Namun aku tidak berani banyak berbicara. Takut dikira mencampuri urusan pribadi Leon. Setelah percakapan mereka selesai, aku dan Leon berdiri di pinggir pembatas mercusuar. Dari sini, semua pemandangan laut dan pulau bisa terlihat secara keseluruhan. Indah sekali. Menakjubkan!

“Boleh pinjam kameramu untuk rekam video? Aku ingin mengutarakan sesuatu lewat video.” ucap Leon serius.

Aku mengangguk sambil menyerahkan kameraku. Leon kemudian menekan tombol mode on untuk video. Tangannya langsung mengarahkan lensa kamera ke pemandangan langit, laut, serta pasir yang ada di bawah. Tak lama ia pun menghadapkan kamera ke arah wajahnya.

“Kayla, hari ini adalah hari pernikahan kita yang pertama. Kamu di surga sana. Aku di surga Pulau Lengkuas yang tahun lalu kita datangi ini. Happy anniversary, dear. Love you always.” ucap Leon sambil tersenyum lalu mengakhiri rekamannya. Matanya mendadak merah. Ya, matanya berair walau tak sampai tumpah.

“Nanti di Jakarta aku minta videonya ya.” kata Leon kepadaku.

Aku cuma bisa mengangguk. Sekali lagi, aku tidak berani banyak bertanya tentang mendiang istrinya. Pasti perih baginya untuk menceritakan kembali kenangan yang tak pernah bisa kembali.

Di sini, di tempat yang begitu indah ini, ada pilu yang tersimpan. Sungguh kontras..

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop